Pada masa sekarang ini kebanyakan dokter mengobati luka-luka
yang ada di dalam anggota wudlu dengan plester (jabiroh) yang tidak boleh dibuka
sebelum sembuh, sedang pemakaiannya pada waktu hadast (tidak suci)
Kalau menurut kitab Kifayatul Akhyar Juz 1 hal 38
syarat-syaratnya berat, yakni:
-
Harus dalam keadaan suci
-
Pemasangan harus menurut tertibnya anggota yang dibasuh ketika wudlu
-
Banyaknya tayamum berulangkali menurut jumlah jabiroh di dalam anggota wudlu
Pertanyaan
Apakah ada qoul ringan, misalnya:
-
Pemasangan boleh pada saat hadats
-
Boleh tayamum setelah usai wudlu
-
Bertayamum hanya satu kali saja walaupun jabirohnya lebih dari satu
Jawaban
Ada pendapat yang ringan seperti yang tertera dalam kitab
sbb:
Al-Mizan, I: 135
ومن ذلك قول الإمام الشافعى - من كان بعضو من أعضائه جرح
اوكسر او قروح والصق عليه جبيرة وخاف من نزعها التلف انه يمسح على الجبيرة وتيمم مع
قول أبى حنيفة ومالك انه ان كان بعض جسده صحيحا وبعضه جريحا ولكن الأكثر هو الصحيح
غسله وسقط حكم الجريح ويستحب مسحه بالماء. وان كان الصحيح هو الأقل تيمم وسقط غسل
العضو الصحيح وقال أحمد يغسل الصحيح وتيمم عن الجريح من غير مسح
للجبيرة.
ووجه الأول الأخد بالإحتياط بزيادة وجوب مسح الجبيرة لما تأخذه من الصحيح غالباللا ستمساك. ووجه الثانى أنه اذاكان الأكثر الجريح القرح فالحكم له لأن شدة الألم حينئذ أرجح فى طهارة العضو من غسله بالماء فان الأمراض كفارات للخطايا.
ووجه الأول الأخد بالإحتياط بزيادة وجوب مسح الجبيرة لما تأخذه من الصحيح غالباللا ستمساك. ووجه الثانى أنه اذاكان الأكثر الجريح القرح فالحكم له لأن شدة الألم حينئذ أرجح فى طهارة العضو من غسله بالماء فان الأمراض كفارات للخطايا.
Menurut imam Syafi'i: orang yang di anggauta wudlunya ada
luka atau bengkak kemudian diperban dan ia takut mengusap perban dan bertayamum.
Menurut imam hanafi dan malik: jika yang sakit lebih kecil daripada yang sehat,
cukup membasuh yang sehat dan disunnahkan mengusap yang sakit. Apabila yang
sehat lebih kecil, maka hanya wajib tayamum. Dan tidak wajib membasuh anggota
yang sehat. Menurut imam ahmad, membasuh anggota yang wajib dan tayamum untuk
sakit tidak wajib mengusap perban. Pendapat pertama mengambil langkah yang
berhati-hati, dengan menambahkan: wajibnya mengusap tambal karena diambil pada
anggota badan yang shohih/sehat secara umum untuk penanggulangan. Pendapat yang
kedua, ketika yang lebih banyak itu luka atau koreng, maka hukum berada padanya.
Karena parahnya sakit saat demikian, lebih diutamakan didalam pensucian anggota
badan disbanding harus membasuh dengan air. Karena penyakit itu adalah menghapus
terhadap kesalahan (dosa).
Al-Qalyubi, I: 97
( فان تعذر ) نزعه لخوف محذور مما ذكره فى شرح المهذب (
قضى ) مع مسحه بالماء ( على المشهور) لانتفاء شبهه حينئذ بالخف والثانى لايقضى
للعذر والخلاف فى القسمين فيما اذا كان الساتر على غير محل التيمم فان كان على محله
قضى قطعا لنقص البدل والمبدل جزم به فى أصل الروضة ونقله فى شرح المهذب ... الى ان
قال: الاظهر انه ان وضع على طهر فلا اعادة والا وجبت. انتهى وعلى المختار السابق له
لاتجب.
Apabila ada udzur untuk melepas ( tambal) seperti apa yang
disebut dalam syarah muhadzab maka wajib mengqodoi shalatnya dan mengusapnya
dengan air menurut yang mashur, karena hal ini tidak ada keserupaan, dengan
pemakai muzah (alas kaki arab). Menurut pendapat yang kedua tidak perlu qodlo
shalatnya ( bila dilakukan ) karena termasuk udzur, perbedaan pendapat di dalam
dua kelompok tersebut, dalam mas'alah, penutup (tambal) yang terdapat selain
anggota tayamum (seperti lengan/muka) maka jelas harus mengqodlo shalatnya,
karena ada kurangnya antara pengganti dan yang diganti. Hal itu diyakini oleh
imam nawawi didalam aslinya kitab Roudloh dan menukilnya didalam kitab syarah
al-muhadzab, S/d .... Menurut yang adzhar, jika waktu memasang penutup (tambal)
itu dalam kondisi suci, maka tidak perlu mengulang shalatnya, kalau tidak suci
maka wajib mengulang. Menurut yang mashur ( terpilih ) yang dahulu tidak
wajib.
Al-Qalyubi, I: 84
( فَإِنْ كَانَ ) مَنْ بِهِ الْعِلَّةُ ( مُحْدِثًا
فَالْأَصَحُّ اشْتِرَاطُ التَّيَمُّمِ وَقْتَ غَسْلِ الْعَلِيلِ ) رِعَايَةً
لِتَرْتِيبِ الْوُضُوءِ ، وَالثَّانِي يَتَيَمَّمُ مَتَى شَاءَ كَالْجُنُبِ لِأَنَّ
التَّيَمُّمَ عِبَادَةٌ مُسْتَقِلَّةٌ ، وَالتَّرْتِيبُ إنَّمَا يُرَاعَى فِي
الْعِبَادَةِ الْوَاحِدَةِ .
( فَإِنْ جُرِحَ عُضْوَاهُ ) أَيْ الْمُحْدِثِ (
فَتَيَمُّمَانِ ) عَلَى الْأَصَحِّ الْمَذْكُورِ ، وَعَلَى الثَّانِي تَيَمُّمٌ
وَاحِدٌ ، وَكُلٌّ مِنْ الْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ كَعُضْوٍ وَاحِدٍ ، وَيُنْدَبُ
أَنْ يُجْعَلَ كُلَّ وَاحِدَةٍ كَعُضْوٍ.الشَّرْحُ: قَوْلُهُ: ( فَتَيَمُّمَانِ )
أَيْ إنْ وَجَبَ التَّرْتِيبُ بَيْنَهُمَا وَإِلَّا كَمَا لَوْ عَمَّتْ الْعِلَّةُ
الْوَجْهَ وَالْيَدَيْنِ فَيَكْفِي لَهُمَا تَيَمُّمٌ وَاحِدٌ عَنْهُمَا ، وَكَذَا
لَوْ عَمَّتْ جَمِيعَ الْأَعْضَاءِ لِسُقُوطِ التَّرْتِيبِ .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar